Minggu, 25 Juli 2010

Wilayah Suku Haru

WILAYAH YANG DIHUNI SUKU

BANGSA HARU

Pada mulanya bangsa ini bernama suku bangsa Haru kemudian disebut Haro, dan akhirnya dinamai suku bangsa Karo, khusus untuk nama yang menghuni wilayah suku bangsa karo sekarang ini.

Menurut penyelidikan, setelah hancur Kerajaan Haru Wampu, Kerajaan Lingga Timur, Kerajaan Haru Deli Tuwa pada abad ke 16 akibat ageresi bala tentera Kesultanan Aceh ke Wilayah Bangsa Haru maka sejak itulah pecahnya bangsa Haru menjadi beberapa suku bangsa. Yaitu Suku Bangsa Karo, Simelungun, Pakpak, Alas, Gayo, Singkel dan Keluat.

Latar belakang perpecahan suku bangsa Haru ini, ialah disebebkan pengaruh kekuasaan Kesultanan Aceh sebagai pemenang/penakluk kerajaan-kerajaan Haru pada tahun 1539 dan tahun 1564, yang tujuan agresinya meng-Islam-kan suku bangsa Haru penganut agama Hindu Perbegu dari Sekte Ciwa.

Penduduk suku bangsa Haru yang didaerah Kayo, menjadi suku bangsa Kayo, kemudian dinamai suku bangsa Gayo. Penghuni daerah Talas, dinamai suku bangsa Talas kemudian disebut suku bangsa Alas. Bangsa Haru yang mendiami daerah Keluat dinami suku bangsa Keluat, dan penduduk bangsa Haru yang mendiami sepanjang sungai Singkel dinamai menjadi suku bangsa Singkel dan semuanya masuk menjadi agama Islam. Hal ini berkaitan dengan ketetapan yang diundang oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Johar Berdaulat Perkasa (tahun 1606-1636) bahwa semua warga Negara Aceh harus beragama Islam.

Penduduk suku bangsa Haru di daerah Pakpak, menjadi suku bangsa Pakpak. Suku bangsa Haru yang mendiami daearah Simelungun, disebutkan suku bangsa Simelungun. Suku bangsa Haru yang mendiami daerah Karo sekarang ini kemudian disebut suku bangsa Haro lalu sampai sekarang ini dinamis suku bangsa Karo berubah dengan ejaan ‘u’, banyak terdapat dalam kata-kata bahasa Haru berobah dengan ejaan ‘o’, lalu akhirnya nama Haro berobah menjadi Karo, dimana ejaan ‘H’ berubah menjadi ejaan ‘K’, karena pengaruh situasi dan lingkungan.

Bahasa Karo Tua Haru sebagaimana yang terdapat dalam pustaka Alim Kembaren, terbanyak memakai ejaan u seperti ‘dungkuh’, sekarang disebut ‘dengkeh’ artinya dengar. ‘Gular’ sekarang diucapkan ‘gelar’ dll. Disalah satu daerah Karo, orang-orang tua masih ada yang menyebutkan Karo itu dengan kata ‘Karau’ yaitu daerah Urung Julu.

Ada juga yang berpendapat bahwa nama suku bangsa Haru itu, berubah menjadi Harau, kemudian menjadi Karau, lalu menjadi Karo sekarang ini.

Sejak itu suku bangsa Haru, Karau atau Karo didaerah pesisir pantai laut Sumatera Timur menjadi penganut Islam yang pada waktu itu lazim disebut ‘Jawi’ dan sekaligus menyebutkan juga suku bangsa Melayu, pengaruh dari pedagang-pedagang Malaya dan pengaruh penguasaan Kesultanan Aceh didaerah itu.

Yang bertahan dalam agama nenek moyangnya, ialah suku bangsa Semulungun, Toba, Karo dan Pakpak. Kemudian setelah datang agama baru yang dibawa bangsa Eropa lambat laun suku bangsa Toba, Simelungun dan Pakpak sebagian besar masuk menjadi penganut agama Kristen.

Pada tahun 1890 Maskepai-maskepai Perkebunan Tembakau Delidan Pemerintah Kolonial Belanda, memasukkan Missi Kristen Zending Henoschap ke Buluh Awar Tanah Karo, dimana mesiu peperangan sedang membakar Karo Jahe (Deli), Karo Serdang dan Karo Langkat, antara tentera Kompeni Belanda dengan laskar-laskar Simbisa Karo/Melayu. Maksuk dan tujuan pemerintah Kolonial Belanda mengirimkan Missi Zendingnya ialah untuk menjinakkan rakyat dan pejuang-pejuang Karo, yang masih keras menetang dan melawan perampasan-perampasan tanah adat oleh Maskapai Perkebonan Tembakau/Pemerintah Kolonial Belanda.

Walaupun pada tahun 1907 daerah Karo seluruhnya sudah takluk kepada Pemerintah Kolonial Belanda, dan Missi Zending Henoschap berleluasa mengembangkan agama Kristen, dan Missi Mubalih-mubalih Islam mencari pengaruh di daerah karo, namun sampai tahun 1945 penganut Kristen dan Islam masih berbilang jari, dan agama Hindu/Perbegu tetap unggul, dan sampai tahun 1965 agama Hindu/Perbegu/Pemena tetap mayoritas di daerah Karo.

Walaupun berganti silih Pemerintah asing yang menguasai wilayah Karo, walaupun begitu hebatnya gergaji politik pecah belah penguasaan Kesultanan Aceh dan penguasa penjajah belanda, untuk menghancurkan Hinduisme dan kebudayaan Karo, namun agama Hindu Perbegu/Pemena itu tetap teguh berdiri ditengah-tengah masyarakat Karo, sebagai agama nenek moyangnya.

Menurut hasil penyelidikan, wilayah kerajaan Haru Wampu itu, mulai dari Tamiang sampai ke sungai Rokan dan dibagian pedalaman mulai dari Simelungun atas sepanjang Bukit Barisan sekarang ini, terus kelembah Aceh Besar.

Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa setelah terjadi ageresi tentera Kesultanan Aceh kepusat kerajaan Haru Wampu, Haru Lingga Timur raja tahun 1539 dan agresi tentera Aceh kepusat Kerajaan Haru Deli Tua + tahun 1564, maka sejak itu terjadilah perobahan-perobahan besar dalam kehidupan masyarakat Haru atau Karo, maka sejak itu keatas penulis sebutkan jaman Karo Tua, sedangkan sejak dari tahun itu kebawah penulis menyebutkan jaman Karo Muda.

WILAYAH SUKU BANGSA KARO SEKARANG INI

Sebetulnya pada tahun 1862, sejak bangsa Belanda yang bernama Neunheys, di ijinkan Sultan Mahmud membuka perkebonan Tembakau disekitar Titi Papan dekat ke Labuhan, wilayah suku bangsa Karo itu mulai terasa terancam oleh expantie Kolonial Belanda, dan sejak itu mulai dari tahun 1872, secara serakah dan terang-terangan Pemerintah Kolonial Belanda melakukan expantie militernya sekeluruh daerah Karo, terus menerus sampai tahun 1907.

Setelah Panglima Nabung Surbakti gugur pada tahun 1907, dan hancurnya pasukan Panglima Kiras Bangun bersama pasukan-pasukan Silimin Sibayak Baturedan yang bermarga Sinu Lingga itu, barulah Pemerintah Belanda, merasa aman di daerah Karo, jauh sesudah pemerintah Kolonial Belanda menjalankan kekuasaan di daerah Tanah Karo, yaitu mulai pada tahun 1911, barulah Pemerintah Belanda menjalankan penetapan watas-watas Administrasi Pemerintahannya sejalan dengan siasat Politik Diveda Ed Imperanya memecah belah suku bangsa Karo.

Dengan terbitnya surat ketetapan tertanggal 13 April tahun 1911 Bijblad No. 7465, ditetapkanlah watas tanah Karo dengan tanah Simelungun, dimana Urung Silima Kuta yang beribu kota Nagasaribu adalah daerah Karo, dimasukkannya menjadi daerah tanah Simelungun.

Dengan tanah Dairi ditetapkannya pada stablad 1908 No. 604, dan derah Karo Balur disepanjang sungai Lau Renun dimasukkannya Kewilayah Kresidenan Tapanuli.

Karo Langkat dimasukkannya Kewilayah Afdeling Langkat yang diperintah oleh seorang Asisten Residen, berbangsa Belanda sebagai Pegawai Tinggi Gubernermen, sedang sultan Langkat sebagai Pemerintahan Bumi Putra mengepalai Afdeling Langkat.

Karo Jahe dan Karo Timur dimasukkannya ke Administrasi Afdeling Deli & Serdang yang diperintah oleh seorang Asisten Residen dari Gubernemen, sedang daerah Karo Jahe atau Deli diperintah oleh seorang Bumi Putra, berpangkat Sultan Deli yang dibawakan oleh seorang Konteler Gebernemen Resord Onderafdeling Deli Landen. Dan didaerah serdang ditetapkan seorang Sultan Serdang dibawah seorang konteler Belanda dari Gubernemen dengan resord Onderafdeling serdang.

Tanah tinggi karo Lanshap dikepalai oleh Raja Berempat yang terdiri dari 5 Lanshap, masing-masing Lasnshap dikepalai oleh Zelbesteur yang berpangkat Sibayak. Lanshap Lingga dikepalai oleh Sibayak Lingga berkedudukan dikampung Lingga membawahkan beberapa Raja Urung yang mengapalai Wilayah Urung.

Lashap suka dikepalai oleh Sibayak Suka, dan membawahkan beberapa Raja Urung, Lanshap Barusjahe dikepalai oleh Sibayak Barusjahe, membawahkan beberapa Raja Urung, Lanshap Sarinembah dikepalai oleh Sibayak Sarinembeh dan membawahkan beberapa Raja Urung, dan Lanshap Kuta Buluh dikepalai oleh Sibayak Kuta Buluh dan membawakan beberapa Raja Urung.

Raja Urung yang mengepalai Wilayah Urung, membawahkan langsung pengulu-pengulu ‘Kesain” ditiap-tiap kampong. Sebuah kampong ada terdiri 2, 3, 4 sampai 9 ‘Kesain’.

Raja Berempat atau sebayak-sibayak yang mengepalai lanshap, dibawahkan oleh seorang konteler dan seorang wakil konteler dari gubernemen yang mengepalai Resord Onderafdeling Karo Landen yang berkedudukan dikota Kabanjahe.

Dengan uraian diatas, maka jelaslah wilayah suku bangsa Karo itu, dipecah-pecah lagi oleh Pemerintah Colonial Belanda dengan politik divide ed imperanya yang terkanal itu.

Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai konsep, bahwa suku bangsa Karo itu harus dipecah-pecah, supaya keutuhan pola kebudayaan Panca Merga atau Merga Silima itu dapat diobrak-abrik sampai hancur, dan diperbaharui dengan pola kebudayaan baru yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa terjajah.

Tata susila Karo yang mencerminkan kepribadiannya yang jujur, dan anti segala bentuk penjajahan, menurut Pemerintah Belanda, harus direvisi dengan segala cara dan siasat, supaya masyarakat karo itu setidak-tidaknya jinak terhadap penjajahan Belanda. Itulah siasat politik Kolonial Belanda pada jaman tempo dulu, dengan mengalatkan Bybel ke Buluh Awar sebagai senjatanya yang ampuh tahun 1890.

Keutuhan pola kebudayaan Panca Merga suku bangsa Karo itu, cukup tangguh dan kuat, tidak dapat dilebur dan dihancurkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sekalipun kaki-tangan Pemerintah Belanda meluaskan ajaran supaya adat istiadat Karo itu dihilangkan dan harus dihayati kebudayaan baru, namun kesatuan pandangan hidup suku bangsa karo itu tetap bagaikan pagar baja melingkari kebudayaan karo yang identik dengan Falsafah Pancasila.

Suku bangsa karo mempunyai bahasa sendiri, tari-tarian sendiri dengan alat-alat musiknya sendiri, dan adat istiadatnya, serta sistem merga yang turun menurun sebagai asalnya.

Menurut pandangan masyarakat Karo, sebagai manusia harus beradat, menunjukkan bahwa aturan-aturan adat itu harus dituruti dan dipatuhi. Orang tidak beradat, dipandang lebih jelek dari pada orang yang tidak beragama.

Batas-batas wilayah yang dihuni bangsa Karo sekarang ini ialah : kesebelah Timur berbatasan dengan Tanah Simelungun, kesebelah Barat berbatasan dengan Aceh Tenggara dan Aceh Timur, kesebalah Utara dengan Suku Melayu (Pantai Laut Sumatera Timur) dan ke Selatan dengan tanah Pakpak dan Danau Toba.

Didalam wilayah suku bangsa karo itu, terdapat pula bebarapa bagian daerah yitu :

  1. Daerah Karo Gugung, yaitu Tanah Tinggi Karo, meliputi wilayah Kabupaten karo sekarang ini. Daerah Karo Gugung, terbagi lagi dengan beberapa daerah, yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-gunung (Singalor Lao) dan Tanah Urung Melas.
  2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan Daerah bekas Kecamatan Cingkes tahun 1946
  3. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah, masing-masing disepanjang sungai Lau Renun, Ex-Kewedanaan Tingga Lingga
  4. Daerah Karo Jahe yaitu Deli Hulu
  5. Daerah Karo Binge, Karo Salapian, Karo Buah Orok, sekarang semunya disebutkan Karo Langkat.

Di daerah karo ini terdapat banyak gunung-gunung, diantaranya 2 buah gunung berapi, yaitu Gunung Sibayak dan Gunug Sinabung dengan ketinggian pertama 2170 m dan kedua setinggi 2417 m dari permukaan laut. Kedua gunung merapi ini menjadi kebanggaan masyarakat Karo, karena ramai dikunjungi touris luar negeri dan dalam negeri sedang kaki Gunung Sibayak terdapat pemandian Air Panas bernama Lau Debuk-debuk. Air panas tersebut sangat sedap sekali dimandikan, dan dapat menyembuhkan penyakit gatal-gatal. Hamper setiap hari dikunjungi oleh para touris, maupun penganut-penganut Hindu/Pemena untuk berlangir dan memuja Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Ria yang dipercayai oleh mereka-mereka kedua Roh suci Dewi tersebut, menguasai Gunung Sibayak dan Pemandian Lau Debuk-debuk.

Oleh Pemda Karo Lau Debuk-debuk tersebut telah dibangun menjadi kolam pemandian umum, karena banyak pengunjungnya.

Sungai-sungai besar banyak terdapat di daerah ini, yaitu sungai Ular, Sungai Lau Seruwei, Sungai Lau Petani, sungai Lau Belawan, Sungai Batang Serangan, Sungai Lau Biang/Wampu, sungai Pelawi dan sungai Lau Renun yang bermuara ke sungai Singkel.

Bagi suku merga Sembiring Singombak, sungai Lau Biang Wampu ini dianggapnya sebagai sungai suci seperti Sungai Gangga di India, karena Sungai Lau Biang Wampu adalah dilakukan upacara Kerja Mbelin Paka Waluh, upacara menghanyutkan perabuhan mayat-mayat yang sudah dibakar (ngaben) dan dilautan luas diyakini akan bertemu dengan air suci dari sungai Gangga itu.

Sungai Lau Biang Wampu disamping penting perannya terhadap keagamaan Hindu/perbegu, oleh masyarakat karo dianggap juga sebagai lambing keagungan dan kejayaan Kerajaan Haru Wampu dan lambang kebesaran dari suku merga kembaren yang menjadi Maharaja Diraja Kerajaan Haru Wampu di abad ke 16 Masehi.

Menurut sejarah karo, disepanjang sungai Lau Biang Wampu itu telah terjadi peperangan dahsyat, berpuluh tahun lamanya, antaranya Lasykar-lasykar Mojopahit yang langsung dikomando oleh senopati Gajah Mada Contra Lasykar-layskar Simbisa Haru mulai dari tahun 1939 sampai tahun 1364 dan tahun 1365 Laskar Mojopahit mundur ke Jawa Timur karena terjadi kelemahan-kelemahannya, terutama disebabkan mangkatnya Patih Gajah Mada di tahun 1364

Setelah selesai menghadapai peperangan dengan laskar-laskar Mojopahit, maka mulailah kesultanan Samudera Pasai dan Malaka berganti silih hendak menguasai kerajaan Haru Wampu dan sejak itu pula berkobarlah api peperangan disepanjang sungai Lau Biang Wampu. Kemudian pada penghujung abad ke 15, bangkitlah sultan ali mukhayat syah sebagai sultan Aceh Pertama, dan mulailah terjadi peperangan antara tentara Aceh dengan Lasykar Simbisa Haru dari kerajaan Haru Lingga Timur Raja diwilayah Balur (lembah) Aceh besar. Lasykar simbisa haru dibalur Aceh Besar mengalami kekalahan dan hancur, lalu Raja Balur di Aceh besar yang bernama Manang Ginting Suka takluk dibawah kesultanan Aceh, yang kemudian menjadi Islam.

Akhirnya bukan saja Kerajaan Haru yang dilembah itu digempur dan dihancurkan oleh Kesultanan Aceh, tapi menyerbu kepusat kerajaan Haru Lingga Timur Raja Kota Panau dan kota Lingga di daerah Balur Karo Kecamatan Tiga Lingga sekarang ini. Setelah kerajaan Haru Lingga Timur Raja hancur, maka pada tahun itu juga bulan Nopember 1539 tentara kesultanan Aceh menyerbu pertahanan pusat Kerajaan Haru disepanjang sungai Lau Biang Wampu. Peperangan berlangsung selama 20 hari, akhirnya Maharaja Diraja Kembaren gugur dibenteng dekat kampong Batu Erjongjong sekarang ini. Kira-kira tahun 1564 kerajaan haru Defi Tuwa, untuk kedua kalinya diserbu oleh tentara Aceh, dan terjadi peperangan yang seru disepanjang sungai petani, ibarat petani menyembur-nyembur api kata M. O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao.

Sejak itu wilayah kerajaan Haru Wampu seluruhnya takluk dibawah naungan kesultanan Aceh sampai ketahun 1872 di daerah jahe-jahe, dan didaerah tanah Tinggi karo sampai tahun 1904.

Demikianlah petani bumi yang dihuni oleh suku bangsa karo, dan sekarang penduduknya ik. 0,5 Juta Jiwa.

PRA SEJARAH

Pada jaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke Selatan, antara lain bangsa Campa, Siam, Kamboja, lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya dan sebagian mereka-mereka ini masuk ke Sumatera Utara.

Perpindahan ini menurut akhli-akhli sejarah, terjadi dalam dua gelombang, yaitu :

Menurut Prof. G. Ferrand, perpindahan itu terjadi dalam gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Detro Malay (Melayu Muda).

Menurut teori V. H Geldern perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi.

Prof. Dr. Kern menyebutkan dalam teorinya, perpindahan ras dan Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Detro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Prof. Mhd. Jamin S.H. sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perpindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Menurut Alexander Randa, kira-kira 12000 tahun sebelum Masehi terjadi perpindahan bangsa Negrito dari Afrika masuk kedataran Asia dan terus ke Asia Tenggara.

Sebagian sangkut di Sailan India Selatan dan berasimilasi dan menjadi bangsa Weda. Setelahnya berasimilasi pergi lagi dengan melalui dan mendarat dipantai Barat Sumatera.

Sesuai uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa penduduk-penduduk yang menghuni pulau Sumatera ini telah terjadi percampuran ras.

Pada jaman batu itu penduduk-penduduk yang menghuni di daerah pegunungan yang berasal dari ras Proto Malay berdiam di Gua-gua yang dipahat sendiri dengan mempergunakan perkakas batu.

Gua-gua batu yang banyak terdapat di daerah pegunungan Karo dan Pakpak, yang dinamai oleh masyarakat Karo Gua Umang, seperti Gua Umang Durin Tani Sembahe Kecamatan Sibolangit, Gua Umang Rimomungkur, Gua Umang Gunung Meriah, Gua Umang di Sarinembah, Gua Umang di Nggalam, Gua Umang Gunung Sibayak, Gua Umang Gunung Sinabung dll. Menurut penyelidikan adalah gua-gua tempat berdiam ras Proto Malay yang splindet isolation.

J.H. Neuman menyebutkan :

“ Jika kita sekarang memandang batu dari Durian Tani maka kita melihat pada pembuatannya, dan perhiasan pada pintu masuk, bahwa yang membuatnya mempunyai rasa seni”.

Dari keterangan-keterangan lainnya, yaitu Dada Meraxa Sejarawan terkenal di Sumatera Utara, menguraikan sebagai berikut :

“Dari galian-galian yang didapat di Sumatera Timur, dijumpai juga hasil kebudayaan Hoa Bin dari Indo China. Rupanya penduduk Sumatera Timur itu sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan mula-mula telah tinggal dalam gua-gua batu, dan rumah-rumah Umang seperti yang terdapat di Durin Tani Sembahe dan Serdang”.

Jadi jelaslah gua-gua umang yang selama ini oleh masyarakat Karo Tradisionel menyebutkan sebagai tempat-tempat kediaman Umang (Dewa Sakti) menjadi bahan penyelidikan selanjutnya, sebagaimana penulis telah uraikan diatas bahwa menurut observatie penulis, gua-gua Umang itu adalah tempat kediaman Penduduk-penduduk ras Proto Malay yang terdesak oleh ras Detro Malay yang membawa kebudayaan dongson kepantai-pantai Sumatera Timur. Sependapat dengan uraian Bapak Dada Meraxa tersebut diatas

Dari uraian Pendeta J.H. Neuman diatas yang namanya tidak asing lagi di daerah karo, dapat disimpulkan bahwa yang membuat gua Umang Batu Kemang durin Tani itu adalah manusia, sebagai satu-satunya mahluk yang berseni.

Selanjtnya untuk lebih menyakinkan dan membuktikan bahwa ras Proto Malay yang terdesak kedaerah Pendalaman di Sumatera Timur ini Tengku Lukman Sinar S.H. seorang sejarawan muda yang namya terkenal di Sumatera Utara ini, antara lain menguraikan sebagai berikut :

“ Dari hasil galian oleh para sarjana di daerah ini, seperti apa yang ditulis pula oleh DR. G. W. WORMSER (2) bahwa dari alat-alat perkakas manusia purba di Baskon dan Hoabinh seperti yang ditemukan oleh Dr. Coloni dan Mansyuri di Indo Cina itu terdapatlah alat-alat perkakas manusia purba yang digunakan untuk mencari makan. Penemuan penting mengenai itu terdapat di Perak (Malay) dan Pangkalan Brandan sumatera Timur di tahun 1942 yaitu dibukit Kerang yang sudah terpendam. Sering dengan penemuan tadi juga di dapati perkakas yang disebut “Sumatera Lifb”, semacam kampak untuk alat-alat menggosok. Bukti Kerang tadi adalah bekas makanan manusia purba yang dilempar begitu lamanya, sehingga menjadi suatu timbunan. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa di daerah ini dijaman prasejarah telah di diami oleh sejenis Bangsa Austroloid. Kemudian sehabis jaman Batu Muda (1500-300 Tahun S. M) masuk lagi urusan perpindahan yang terakhir dari Indo Cina yang disebut “Deotro Malay (Melayu Muda) yang membawa kebudayaan Dongson (perunggu) dan mendesak golongan Proto Malay (Melayu Tua) ke pedalaman golongan mana dating disekitar 1500 tahun S.M (Jaman Batu Muda) dan ras Mongoloid juga”.)

Jelas bahwa ras Proto Malay karena terdesak oleh ras. Deutro Malay yang membawa kebudayaan dongson, menyingkir kepedalaman. Bapak Mhd. Said akhli sejarah Indonesia, menguraikan antara lain sebagai berikut :

“Bagi meneguhkan keyakinan terhadap perkembangan jenis bangsa ini di Sumatera, dapatlah pula dicatat bahwa di Lho Semawe (Aceh) yaitu di Kandang telah didapati juga perkakas kapak bergosok sebelah (sebangsa Sumatera Lifh).

Lebih tegas dan jelas lagi, tentang perkembangan ras Proto Malay yang menjadi suku bangsakaro sekarang ini, Budhi K. Sinulingga menguraikan sebagai berikut :

“Dalam buku Benih Yang Tumbuh Jilid 4 tentang Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). 1976 yang diterbitkan oleh Lembaga Studie dan Penelitian GBKP, menguraikan sejarah Karo secara ringkas. Dalam buku itu dikatakan, suku karo termasuk gelombang imigrasi pertama Proto Malay, yang dating dari Tiongkok Barat Daya, jauh sebelum abad Masehi, semula mereka mendiami daerah disekitar pantai Sumatera Timur, tetapi setelah dating imigran gelombang kedua, yakni Deutro Malay beberapa abad sebelum Masehi, maka sebagian dari Suku-suku Proto Malay ini lari kearah pegunungan yang kini disebut Dataran Tinggi Karo (Tanah Karo).

Itulah Suku Bangsa Haru yang menjadi Karau atau Karo sekarang ini yang berdiam didaerah/disepanjang Bukit Barisan, mulai dari Simelungun Atas terus ke Balur (Lembah) kaki gunung Salawah Aceh Besar sekarang ini, yang pada jaman itu menanamkan suku bangsanya “HARU”.

Menurut penyelidikan bahwa pada jaman Haru ini lahirnya bahasa aksara, seni suara, seni tari dan adat istiadat karo sekarang ini dan pada mulanya sudah dapat dipastikan primitief, dan setelah masuk pendatang baru seperti Suku Hindu Padang dan Suku Hindu Tamil yang pertama kira-kira penghujung abad ke 12masehi, dan kedua permulaan abad ke 13 Masehi, maka kebudayaan masyarakat Haru itu, menjadi lebih tinggi dari suku bangsa Haru itu sendiri.

Itulah sebabnya maka bahasa, adat istiadat suku bangsa Semelungun Karo, Alas, Gayo, Pakpak, Singkel dan Keluat lebih banyak persamaannya dari pada perbedaannya sekarang ini, karena suku-suku bangsa ini adalah berasal dari suatu rumpun bangsa yaitu suku Bangsa Haru.

Suku bangsa semulungun, Karo, Pakpak, Alas, Gayo, Singkel dan Keluat, oleh karena diikat oleh suatu dialek bahasa yang hamper sama, dapat dimengerti oleh masing-masing suku tersebut, menunjukkan bahwa suku-suku bangsa tersebut diatas adalah suatu bangsa yaitu Haru.

J.H. Neuman menguraikan persamaan bahwa suku bangsa ini sebagai berikut :

“ Bangsa Karo dari Langkat, Deli, Serdang dan dataran tinggi (Karo) sampai ketanah Alas, satu sama lainnya terikat oleh suatu bahasa. Inilah suatu hal yang patut direnungkan sebentar. Sebab apabila suatu dialek dapat dikatakan dipergunakan didalam suatu wilayah yang begitu luasnya, maka dengan demikian, menunjukkan lagi adanya suatu asal-usul yang sama dari pada suku-suku yang berlainan itu”.

Jadi jelaslah dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa suku bangsa Simelungun, Karo, Pakpak, Alas, Gayo, Keluat dan Singkel asal-usulnya adalah suatu bangsa.

Medan, 22 Juli 2010

Tulisan ini dikutip langsung dari Buku “KARO DARI JAMAN KEJAMAN “ JILID I, yang disusun oleh BRAHMA PUTRO, lalu dketik kembali oleh SARJANI TARIGAN, MSP.



(artanininai_tarigan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar